Dunia tengah bergerak menuju ekonomi rendah karbon. Indonesia, dengan berbagai kekayaan alam, memiliki peran penting dalam upaya menekan emisi global. Sebelumnya, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 untuk mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon di Indonesia. Namun, pelaksanaannya dinilai belum optimal. Regulasi tersebut dianggap terlalu ketat dan belum memberikan ruang yang memadai bagi skema perdagangan karbon sukarela (voluntary carbon market) yang merupakan bagian dari pasar karbon global.
Sebagai respons atas tantangan tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 sebagai penyempurnaan kebijakan sebelumnya. Melalui aturan ini, pemerintah menegaskan pengakuan terhadap keberadaan pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) dan membuka peluang integrasinya ke dalam sistem perdagangan karbon nasional.
Apa saja yang berubah?
Aspek
PERPRES 98/2021
PERPRES 110/2025
Tujuan Utama
Ditujukan agar Indonesia dapat mencapai target NDC
Ditujukan tidak hanya untuk mencapai target NDC tetapi juga membangun skema pasar karbon, mekanisme evaluasi, dan pembiayaan yang lebih baik
Sistem Registri
Hanya memiliki satu sistem registri, yakni SRN-PPI (Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim)
Memiliki dua sistem registri yang terdiri dari SRN-PPI dan SRUK (Sistem Registri Unit Karbon)
Peran Pemerintah Daerah
Berperan sebagai pelaksana kegiatan mitigasi/ adaptasi sesuai arahan pusat
Mewajibkan pemerintah daerah untuk menyusun Rencana Aksi Mitigasi Perubahan Iklim Daerah
Penggunaan Metodologi
Tidak secara langsung menyebutkan standar/ metodologi apa saja yang dapat digunakan
Perpres 110 tahun 2025 secara eksplisit mengizinkan penggunaan metodologi internasional dibawah artikel 6.2 dan 6.4
Pendanaan
Pendanaan berfokus pada APBN, APBD, dan kontribusi donor internasional
Memperluas pendanaan ke green finance, blended finance, carbon tax revenue, dan carbon credit trading
Catatan Penting di Perpres 110/2025
1. Instrumen NEK
Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) pada dasarnya dirancang untuk mendorong seluruh kegiatan ekonomi agar bergerak menuju sistem pembangunan rendah karbon. Peningkatan aktivitas dalam berbagai instrumen NEK, baik melalui perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja, maupun mekanisme pendanaan hijau berpotensi menarik arus investasi, memperluas pendanaan, dan membuka peluang kerja baru bagi masyarakat. Secara makro, hal ini diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus memperkuat transisi menuju ekonomi hijau. Namun, aspek ekologis juga harus mendapat perhatian, agar kebijakan ini tidak hanya berfokus pada nilai ekonomi, tetapi tetap menjamin kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem.
2. Penyusunan Baseline
Referensi yang digunakan dalam estimasi nilai simpanan karbon yang mengacu pada modified 2nd FREL 2022 perlu diperbarui, mengingat kondisi tutupan hutan di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak tahun 2022. Oleh karena itu, penyesuaian serta pembaharuan terhadap baseline FREL diperlukan agar estimasi emisi dan penyerapan karbon dapat dilakukan secara lebih akurat serta mencerminkan kondisi faktual di lapangan.
3. Transparansi
Aspek transparansi dalam penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) masih menjadi tantangan besar. Meskipun seluruh kegiatan wajib terdaftar dalam Sistem Registri Nasional (SRN-PPI), akses publik terhadap data proyek, nilai transaksi, dan distribusi manfaat masih sangat terbatas. Belum ada mekanisme pelaporan publik yang rutin, standar verifikasi independen yang kuat, maupun kewajiban untuk membuka informasi harga karbon. Kondisi ini berpotensi menimbulkan asimetris informasi dan spekulasi pasar, serta melemahkan akuntabilitas pemerintah. Oleh karena itu, transparansi perlu diperkuat melalui keterbukaan data, pelibatan masyarakat, dan pengawasan independen agar sistem NEK berjalan transparan.
4. Keadilan Masyarakat Lokal
Perpres 110/2025 membuka ruang bagi berkembangnya pasar karbon, namun belum sepenuhnya memastikan prinsip keadilan iklim. Regulasi ini tidak memuat klausul yang menjamin hak atas lahan, hak kelola, maupun mekanisme pembagian manfaat (benefit sharing) bagi proyek karbon yang berlokasi di wilayah adat atau hutan desa. Akibatnya, masyarakat adat dan lokal berisiko hanya menjadi “penjaga lahan” proyek karbon tanpa memperoleh manfaat yang setimpal. Aspek ini perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut agar pelaksanaan proyek karbon benar-benar berkeadilan bagi masyarakat di tingkat tapak.
5. Integrasi antar pemangku kepentingan
Perdagangan karbon kini tidak lagi terpusat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), melainkan masing-masing sektoral dapat melaksanakan dan mengelola perdagangan karbon sesuai dengan kewenangan sektor masing-masing. Oleh karena itu, perlu segera disusun peraturan turunan di tiap kementerian/ lembaga terkait agar mekanisme pelaksanaan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dapat berjalan lebih jelas, efektif, dan terkoordinasi di setiap sektor. Secepatnya pemerintah perlu menetapkan batas waktu yang tegas untuk penerbitan peraturan turunan guna menghindari kekosongan hukum dan memastikan kepastian regulasi bagi pelaku pasar karbon. Kehadiran Perpres baru ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju ekonomi rendah karbon. Aturan ini bukan hanya memperkuat transparansi dan memperluas ruang gerak pasar karbon, tetapi juga membuka peluang bagi kolaborasi yang lebih luas di tingkat nasional maupun internasional. Namun, semua peluang itu hanya akan bermakna jika diikuti dengan pengawasan yang kuat, pelaksanaan yang konsisten, serta keberpihakan nyata terhadap prinsip keberlanjutan dan keadilan iklim.